Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ يَنْفُوْنَ
تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْنَ وَ تَأْوِيْلَ
الْجَاهِلِيْنَ
Ilmu ini akan dipikul orang-orang yang adil dari setiap generasi.
Mereka menolak tahrif orang yang melewati batas, menolak intihaal ahli
kebatilan dan ta’wil orang bodoh.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan periwayatan yang banyak, diantaranya:
1. Riwayat Ibrahim bin Abdirrahman Al ‘Udzri secara mursal [1] Riwayat
ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Al Baihaqi dalam As
Sunan Al Kubra 10/209, dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233.
Mereka meriwayatkan dari jalan Al Walid bin Muslim dari Ibrahim bin
Abdirrahman dari orang tsiqah dari para gurunya dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian juga ada jalan periwayatan lain dari Ibrahim ini, dikeluarkan
oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqah, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Abu
Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah 1/53, Ibnu Abdil Barr dalam At
Tamhid 1/59, Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 29 dan Ibnu
‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233 dari jalan Mu’an bin Rifa’ah As
Salami.
Demikian juga Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’ 4/256, Ibnu Abi Hatim dalam
Al Jarh Wat Ta’dil 2/17 meriwayatkan darinya.
2. Riwayat sahabat Usamah bin Zaid yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al
Baghdadi dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang lemah.
3. Riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam
kitab Syaraf Ashhabil, hadits hal. 28 dengan sanadnya dari Abu Shalih
Abdullah bin Shalih dari Laits bin Sa’ad dari Yahya bin Sa’id dari
Sa’id bin Al Musayyab dari Ibnu Mas’ud. Abu Shalih seorang shaduq
katsirul ghaladz [2] (teliti dalam menulis namun memiliki kelalaian).
4. Riwayat Ali bin Abi Thalib yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil dengan sanad mu’dhal [3].
5. Riwayat Abu Umamah Al Bahili yang dikeluarkan oleh Al Uqaili dalam
Adh Dhu’afa’, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad yang lemah.
6. Riwayat Mu’adz bin Al Jabal yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam
Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 11 dengan sanad yang lemah sekali.
7. Riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan dari beliau melalui tiga jalan.
a. Jalan periwayatan Abu Hazim Salman Al Asyja’i yang dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil. Dalam sanadnya ada Yazid bin Kisan seorang
yang shaduq yukhti.[4]
b. Jalan periwayatan Abu Shalih Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Adi dalam Al Kamil dan Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal
28 dengan sanad yang agak lemah.
c. Jalan periwayatan Abu Qubail Huyaiy bin Hani’ yang dikeluarkan oleh
Al Bazar dalam Kasyful Astar, 1/86 dan Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa
dengan sanad yang lemah sekali.
8. Riwayat Abdullah bin Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Ibnu
‘Adi dengan sanad yang lemah sekali.
9. Riwayat Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al
‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, dengan sanad yang lemah sekali.
10. Riwayat Jabir bin Abdillah, disebutkan oleh Al Iraqi dalam At
Taqyid Wal Idhah, hal. 139 belum dapat diketahui sanadnya.
11. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan As Sakhawi dalam Fathul Mughits,
1/294 dan belum diketahui sanadnya. [5]
Kesimpulannya.
Syaikh Abdul Aziz Ali Abdillathif menyatakan,“Sanad yang lemah sekali
hanya ada pada riwayat Mu’adz bin Jabal, riwayat Al Bazzar dan
‘Uqaili, dari jalan periwayatan Abu Qubail dari hadits Abu Hurairah,
riwayat Abdilah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr. Yang lainnya
kelemahannya tidak berat.”[6]
Hadits ini dishahihkan Imam Ahmad dan dilemahkan oleh Imam Al Iraqi.
Yang rajih, hadits ini adalah hadits hasan dengan banyaknya jalan
periwayatan, sebagaimana dinyatakan Syaikh Ali Hasan Al Halabi, dalam
kitab beliau At Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 24 dan Syaikh Salim bin
‘Ied Al Hilali dalam Hilyatul ‘Alim Al Mu’alim Wa Bulghatit Thalib Al
Muta’allim, hal. 77. Wallahu a’lam.
SYARAH KOSA KATA
• يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْم : ilmu disini ialah ilmu kitab dan sunnah
atau agama. Dinyatakan oleh Imam yang mulia Muhammad bin
Sirin,“Sesungguhnya ilmu ini ialah agama. Maka lihatlah, dari siapa
kalian mengambil agama kalian.” [7]
• مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ : bermakna, ilmu kitab dan sunnah ini
akan dibawa pada setiap generasi yang datang setelah Salaf oleh orang
yang ‘adil [8] dari mereka. Ibnul Qayim menyatakan,“Dalam hadits ini
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, bahwa ilmu yang
dibawanya akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya pada
setiap generasi, sehingga tidak terlantar dan hilang.” [9] Kemudian
yang dimaksud orang adil disini ialah para ulama pewaris para nabi,
yang bertugas di atas tiga hal. Yaitu, menolak sikap ghuluw (melampaui
batas), menghancurkan kebatilan dan membongkar kebodohan, sebagaimana
dalam hadits di atas. [10]
• يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ : bermakna menolak perubahan
orang yang melampaui batas dalam permasalahan agama.
Tahrif, adalah berpaling dari posisi dan kebenaran kepada yang lainnya
[11]. Tahrif ini terbagi menjadi dua, yaitu tahrif lafadz dan tahrif
makna. Tahrif makna inilah yang dinamakan oleh ahli bid’ah sebagai
ta’wil.
Ibnul Qayyim menyatakan, tahrif terbagi menjadi dua, (yaitu) tahrif
lafdzi dan tahrif maknawi. Tahrif lafdzi bermakna merubahnya,
adakalanya dengan penambahan atau pengurangan lafadz atau dengan
perubahan harakat i’rob atau perubahan selain i’robnya. Demikian ini
empat bagian tahrif lafadz. Al Jahmiyah dan Rafidhah melakukan itu
semua, namun mereka hanya melakukan tahrif terhadap nash hadits dan
tidak dapat melakukannya pada lafadz Al Qur’an. Walaupun demikian
Rafidhah tetap banyak melakukannya terhadap lafazd Al Qur’an dan
menuduh Ahlus Sunnah yang melakukan perubahan Al Qur’an.
Lalu Ibnul Qayyim menyatakan, adapun tahrif maknawi ialah tahrif yang
mereka tampakkan dan kembangkan dengan nama ta’wil. Demikian ini
merupakan istilah yang salah, diada-adakan dan tidak pernah digunakan
dalam bahasa Arab. Ta’wil ini bermakna memalingkan makna dari yang
semestinya. Hakikatnya, ialah memberikan kepada lafadz makna lain
dengan adanya sedikit kesamaan diantara makna asal dan makna ta’wil
tersebut. [12]
• وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْن : membongkar kedustaan ahli bathil,
karena intihal. Artinya, bila seseorang mendakwakan (mengklaim)
sesuatu untuk dirinya secara dusta, baik berupa sya’ir atau perkataan,
padahal itu milik orang lain.
• وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ : menolak takwil orang yang
melakukannya tanpa dasar ilmu dan pemahaman terhadap ayat dan hadits
Nabi, lalu memalingkannya dari dzahir lafadznya.[13]
SYARAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan
para ulama setelah meninggalnya para nabi dan rasul. Mereka menunjuki
orang tersesat kepada petunjuk dan membuat mereka dapat melihat
kebenaran agama Allah secara benar. Berapa banyak orang yang tertolong
dengan sebab ajaran dan perjuangan dakwah mereka. Alangkah baiknya
pengaruh mereka terhadap masyarakat dan umat ini.
Demikianlah tugas para ulama pengemban ilmu. Mereka harus menjaga
agama Islam dan umatnya dari seluruh kesyirikan, kebid’ahan dan
kemaksiatan. Mereka menjaganya dari perpecahan dan kerusakan akibat
hal-hal tersebut.
Namun apa yang mereka terima? Cercaan, teror dan berbagai kecaman
datang silih berganti. Mereka dihujat sebagai pemecah belah umat,
peruncing perbedaan umat, suka memfitnah dan segudang tuduhan lainnya.
Itulah segala resiko, dari tugas pengemban ilmu yang mereka peroleh.
Mereka tetap melaksanakan tugas menjaga agama dan umat ini dari
perpecahan dan kehancuran, dengan mencurahkan kasih-sayangnya agar
umat ini hidup di bawah lindungannya. Mereka hentikan para penyesat
dan musuh Allah dari kegiatan pemurtadan dan penyesatan umat, dengan
beramar makruf nahi mungkar, mengajak manusia bertauhid dan menjauhi
segala kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan.
Merekalah yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan umat, menegakkan
tiang, kekuatan dan kejayaan Islam atas agama yang lainnya dan
menghancurkan hawa nafsu, kebidahan, kefajiran dan kemaksiatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,“Para ulama memiliki kewajiban
atas umat untuk menjaga dan menyampaikan agama ini. Jika mereka tidak
menyampaikan ilmu agama ini kepada mereka atau melalaikan tugas
menjaga agama, maka demikian itu merupakan kedzaliman yang paling
besar terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ
وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ
أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu
dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
melaknati. [Al Baqarah:159].
Hal ini, karena dampak jelek (bahaya) dari menyembunyikan ilmu mereka,
berimbas kepada binatang dan yang lainnya. Sehingga semua melaknat
mereka termasuk para binatang.” [14]
Oleh sebab itu para ulama salaf senantiasa membongkar dan menjelaskan
kepada umat, tentang kebid’ahan dan para ahlinya. Tidak cukup hanya
disitu, bahkan memperingatkan fitnah dan bahaya mereka terhadap
persatuan dan kesatuan umat Islam. Lihatlah apa yang dinyatakan imam
ahli sunnah Ibnul Qayim, ketika berbicara tentang sikap para salaf
terhadap kebid’ahan. Beliau rahimahullah berkata,” “Pengingkaran para
salaf dan imam mereka semakin keras terhadap kebidahan. Mereka
membantah pelakunya dari segala penjuru dunia dan memperingatkan
dengan keras fitnah ahli bid’ah. Sampai pengingkaran mereka terhadap
kebida’han melebihi pengingkaran mereka terhadap kekejian, kedzaliman
dan permusuhan. Karena bahaya kebid’ahan, kehancuran agama dan
penentangannya lebih besar.”[15]
Lihatlah wahai saudaraku kaum muslimin, bagaimana para ulama berusaha
menjaga agama dan umat Islam dengan mengerahkan segenap kemampuannya
membongkar kesalahan dan kebid’ahan yang ada! Semua itu, karena bahaya
dan implikasi bid’ah yang demikian mengerikan terhadap persatuan dan
kesatuan kaum muslimin.
Jadi membongkar penyimpangan agama, bukanlah memecah persatuan umat
dan memperuncing perselisihannya. Namun itu sangat membantu kaum
muslimin merapikan barisannya menuju persatuan dan kejayaan Islam di
muka bumi ini. Demikian ini dapat dilihat dalam sejarah kaum muslimin
yang sangat panjang, sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam hingga saat ini.
Membongkar kesalahan dan penyimpangan agama, merupakan perkara penting
dan menjadi tugas mulia para pengemban ilmu. Juga menjadi nikmat dan
anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kaum muslimin. Sehingga umat
dapat mengerti kesalahan mereka, lalu dapat memperbaikinya agar lebih
baik dan sempurna.
Memang demikianlah yang disinyalir dalam hadits yang mulia ini, yang
tentunya juga menunjukkan keutamaan dan ilmu mereka.
Imam Ibnul Qayim menyatakan: Hadits ini menunjukkan sanjungan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para ulama yang
membawa ilmu warisannya. Ilmu ini diisyaratkan beliau n dalam
sabdanya:
(هَذَا الْعِلْمَ). Semua pengemban ilmu yang disebutkan itu mesti
seorang yang ‘adil. Oleh karena itu, sudah terkenal di kalangan umat
ini sifat ‘adil para penukil dan pengemban ilmu tersebut, tanpa ada
keraguan dan kebimbangan lagi.
Sudah pasti, setiap orang yang telah di sanjung Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak didapatkan jarh (celaan) pada mereka. Sehingga
seluruh para imam yang telah terkenal sebagai periwayat ilmu nabawi
dan warisannya, adalah orang-orang yang ‘adil dengan sanjungan
(ta’dil) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
tidaklah diterima celaan sebagian mereka terhadap sebagian yang
lainnya.
Bebeda dengan orang yang terkenal dari kalangan umat ini dengan sifat
tercela dan buruk. Semisal tokoh ahli bid’ah dan yang mengikuti mereka
dari orang yang diragukan keshalihanya. Karena mereka, menurut umat
ini bukan termasuk pengemban ilmu nabawi. Sehingga, tidaklah mengemban
ilmu Rasulullah n , kecuali orang yang ‘adil.
Namun terkadang, terdapat kesalahan dalam memahami istilah ‘adil ini.
Sehingga menganggap, bahwa yang dimaksudkan ialah orang yang tidak
memiliki dosa. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Yang benar ialah
bermakna ‘adil, dipercaya atas agama ini.[16]
Pantaslah demikian, karena mereka merupakan pewaris para nabi dan
rasul, sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam sabdanya:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ
لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak
mewarisi dinar dan tidak pula dirham, namun mewarisi ilmu. Sehingga
siapa yang telah mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang
sempurna.[17]
Sungguh aneh bila seseorang yang berusaha meluruskan kesalahan
sekelompok kaum muslimin atau jama’ah, lalu dianggapnya sebagai
penyebar fitnah, pemecah persatuan dan persaudaraan Islam. Bahkan
lebih dari itu, mereka harus diteror dengan berbagai celaan dan makian
serta tuduhan tanpa bukti dan keterangan jelas, seperti julukan,
sebagai antek Amerika dan Yahudi, penjilat pemerintah, atau bodoh
tidak mengenal fiqih waqi’ dan lain-lainnya. Sungguh suatu tuduhan
yang keji dan tak berperi-kemanusiaan, apalagi sesuai dengan syari’at.
Tuduhan yang tidak mungkin akan keluar dari seseorang yang mengerti
hak pengemban ilmu. Layak dan pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada
orang yang membongkar penyimpangan suatu jama’ah atau sekelompok kaum
muslimin, agar semua sadar dan kembali bertaubat kepada Allah l ?!
Sungguh tidak pantas dan teramat sangat tidak pantas.
Demikianlah sunatullah yang bakal menimpa penegak kebenaran, dari para
rasul dan nabi, serta para pengikut mereka.
وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلاً
Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.
[Al Ahzab:62].
Hujatan dan gelaran buruk telah menimpa para ulama Ahlu Sunnah sejak
zaman dahulu. Imam Abu Utsman Ash Shabuni menjelaskan,“Saya melihat
sikap ahli bid’ah dalam memberi gelaran-gelaran jelek kepada Ahlu
Sunnah merupakan sikap meniru cara kaum musyrikin terhadap Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (kaum musyrikin) telah telah
menggelari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berbagai
julukan. Sebagian mereka menggelarinya sebagai tukang tukang sihir.
Ada yang menggelarinya dengan gelar dukun, sya’ir, orang gila,
kesurupan, pembual dan pendusta. Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam sangat jauh dan suci dari aib-aib tersebut. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam, semata-mata hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang
terpilih. Allah berfirman.
انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ اْلأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَيَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً
Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu;
karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan
(yang benar). [Al Isra:48].
Demikian juga ahli bid’ah –semoga Allah Azza wa Jalla menghinakan
mereka- telah memberikan gelaran yang banyak terhadap para ulama
perawi hadits Nabi, orang yang menyampaikannya kepada orang lain dan
pengikut sunnah Rasulullah n . Sebagian mereka menggelarinya dengan
gelar hasyawiyah. Yang lainnya menjulukinya dengan gelaran musyabihah,
nabitah, nashibah dan jabariyah. Padahal Ashhabul Hadits sendiri
amatlah terjaga, jauh dan bersih dari aib celaan ini. Mereka tak lain
adalah pengikut sunnah yang terang, pemilik peri kehidupan yang
diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, orang yang berjalan di jalan yang
lurus dan di atas hujjah yang kokoh dan kuat. Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah memberikan taufiq kepada mereka untuk mengikuti kitab,
wahyu dan kalamNya. Mereka mendapatkan taufiq juga dalam mengikuti
Rasulullah atas seluruh haditsnya. Hadits-hadits beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam yang berisi perintah kepada umatnya untuk berbuat
kemakrufan dalam perkataan dan perbuatan, berisi larangan dari seluruh
kemungkaran.
Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala membantu mereka untuk
berpegang teguh dan mengambil petunjuk kepada perilaku dan sunnah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga melapangkan dada mereka
untuk mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para imam
syari’at dan para ulamanya. Maka, barangsiapa yang mencintai satu
kaum, maka ia bersama mereka pada hari kiamat nanti, dengan dasar
sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Sesorang itu bersama orang yang dicintainya.[18]
Hadits yang mulia ini juga menjelaskan bahaya tahrif yang dilakukan
seseorang yang melampaui batas, kedustaan ahli batil dan ta’wil, orang
yang bodoh terhadap agama ini. Sehingga pemurnian Islam dari perkara
ini, merupakan satu kewajiban dan tugas syar’i bagi para pengemban
ilmu. Fardhu kifayah yang harus dilaksanakan dengan adab dan
kaidah-kaidah syari’at, sehingga dapat menghilangkan dosa dan
kewajiban umat ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kepada
para ulama dengan kebaikan yang berlipat ganda.
BAHAYA MENDIAMKAN KEMUNGKARAN DAN KEBID’AHAN
Mendiamkan kebid’ahan dan kemungkaran yang menyebar di masyarakat
Islam akan menimbulkan berbagai kerusakan dan bahaya. Diantara
kerusakan dan kemudharatan tersebut ialah:
1. Kehilangan unsur penting kehidupan dan kejayaan umat Islam, yaitu
amar makruf nahi mungkar dan memerangi kebatilan.
2. Menyebabkan kemenangan ahli batil dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
3. Menyebarkan dan mengembangkan amalan atau orang yang menyelisihi
kebenaran, baik dalam masalah i’tikad, pemikiran dan amalan.
4. Berkembang syubhat-syubhat yang merusak aqidah dan akhlak, serta
hati umat Islam.
5. Melemahkan kekuatan iman dan i’tikad (aqidah) yang benar.
6. Menghilangkan hukuman syar’i terhadap ahli hawa dan ahli bid’ah
serta ahli syahwat.
7. Menghilangkan pembatas antara bid’ah dan sunnah, kemakrufan dan
kemungkaran. Juga menghilangkan ghirah membela kesuciam agama ini.
8. Menyebabkan orang yang mampu melakukan perbuatan ini berdosa;
karena membantah dan membongkar kebid’ahan dan kesalahan tersebut
merupakan satu kewajiban.
9. Merusak agama ini dengan tercampurnya kebenaran dan kebatilan.[19]
Melihat sebagian bahaya dan kerusakan yang timbul, tentunya kita harus
berusaha melaksanakan hal ini. Tentu semuanya dengan adab dan di atas
koridor syari’at. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan menegur
kaum muslimin untuk berhati-hati dalam bersikap. Wallahu a’lam.
(Disusun Oleh : Abu Aisyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar